Dongeng Ilmiah

 Dongeng Ilmiah


Pagi itu Minggu, 7 Maret 2021, saya seperti biasa mengunjungi Ibunda (Ibunda dari suamiku) yang bertempat tinggal tidak jauh dari rumah saya. Seperti biasa saya dan beliau ngawangkong atau ngobrol-ngobrol. Beliau menyampaikan bahwa cucunya kemarin mengunjunginya juga tapi tidak lama hanya mengambil baju untuk ganti di tempat kerjanya. Kami berdua ngawangkong di ruang dapur seperti biasanya. Banyak yang kami obrolkan, di antaranya banyaknya berita duka karena pada masa pandemi covid-19 ini lebih sering mendengar kabar duka mengenai banyaknya yang meninggal dunia walaupun bukan karena covid-19 penyebabnya. Obrolan lainnya yaitu mengenai kabar-kabar di TV tentang partai-partai politik yang agak memanas, tetapi hanya sekilas obrolan mengenai politik ini karena kita hanya orang awam yang kurang begitu paham tentang itu.

Setelah selesai "ngawangkong" kemudian saya pergi ke pasar yang letaknya tidak jauh juga dari rumah, artinya bisa dikunjungi dengan berjalan kaki. Seperti biasa setiap saya ke pasar saya suka mengunjungi Ibunda saya. Beliau berjualan, sudah lama ibu saya berjualan, mungkin ibu saya mempunyai jiwa wirausaha yang besar sehingga walaupun sudah terhitung tua tetapi masih semangat berjualan. Dari semenjak saya kecil beliau berjulan, mulai dari berjualan bubur (waktu saya duduk di SD seingat saya), kemudian berjualan masakan (waktu saya duduk di SMP), tempatnya di bagian teras rumah. Sekarang beliau berjualan tidak di rumah tetapi di jongko punya orang lain, jadi ibu saya menyewanya. Walaupun waktu berkunjung di jongko tidak begitu lama tetapi banyak juga yang kami obrolkan, macam-macam yang kami obrolkan.

Setelah saya selesai dari belanja kemudian saya mengunjungi adik saya yang tinggalnya berderet dengan rumah orang tua, dan di sana saya ngawangkong dengan adik saya tentang macam-macam, tentang tanaman, tetntang anaknya yang bungsu yang sedang dalam pemulihan dari sakitnya yang mendapat kunjungan dari teman mainnya.

 Ada yang menggelitik ketika teman-teman dari anak bungsu adik saya tersebut sedang nengok Faza nama anak bungsu adik saya yang duduk di kelas 4 SD. Ucapan dari teman-temannya Faza yang menggelitik yaitu mereka bilang:"Kalau tidak ada Faza anak-anak suka pada berantem jadinya tidak damai", saya tertawa mendengarnya tetapi sambil tertawa terbersit di pikiran saya bahwa Faza walaupun masih terbilang kecil sudah menjadi sosok yang diturut oleh teman-temannya, dan teman-temannya itu selalu nyampeur setiap hari untuk bermain.

Saat saya menyampaikan informasi bahwa orangtua (ayah) saya merasa lebih baik setelah meminum air rebusan pandan dan sereh (sere) terasa enak ke kaki dan lutut, kemudian datang ayah saya. Seperti biasa sebagai orangtua jika bertemu dengan anaknya suka ngadongeng atau bercerita masa lampau. Tetapi dongeng kali ini agak berbeda. 

Pada saat saya katakan bahwa sekarang musim hujan sudah agak bergeser tidak seperti jaman dulu ada jadwalnya. Nah saat saya bilang seperti itu ayah saya mulai ngadongeng tentang bagaimana caranya mendorong atau mempercepat turunnya hujan. Beliau bercerita pada saat beliau ditugaskan di Sulawesi, di sana ada pabrik nikel yang dikelola oleh orang Kanada. Pada saat itu musim kemarau sampai-sampai danau Matano kekeringan. Katanya biasanya air dari danau tersebut digunakan untuk menyemprot hasil tambang nikel, semprotan air tersebut tujuannya untuk membersihkan tanah dari bebatuan yang mengandung nikel hasil tambang. Bebatuan hasl tambang tersebut nantinya dipanaskan sampai terpisah antara nikel dan batunya yang kemudian nikelnya diolah. 

Ayah saya kembali membicarakan bagaimana caranya supaya danau Matano menjadi berair kembali yaitu dengan mempercepat turunnya hujan. Biasanya ada petugas dari pabrik nikel tersebut yang menghubungi BPPT pusat Jakarta untuk mengirimkan petugas ke daerah danau Matano untuk mempercepat turunnya hujan. Biasanya BPPT pusat Jakarta menghubungi IPTN dan meminta petugas dari IPTN untuk terbang ke sana membawa bahan-bahan untk mempercepat turunnya hujan. Beliau berkata begini cara sebelum bahan-bahan untuk mempercepat hujan ditaburkan di atas, diukur dulu awan kelabu ketinggiannya dari atas danau/laut, jika ketinggian sudah memenuhi baru petugas terbang menggunakan pesawat membawa bahan-bahan terdiri dari urea dan garam dengan perbandingan 7 : 3 atau 70% urea dan 30% garam. 

Tujuan ditaburkan bahan-bahan tersebut adalah untuk menyatukan awan-awan yang mengandung air yang terpisah menjadi bersatu sehingga tidak terkalahkan oleh tekanan udara dari bawah sehingga awan yang sudah bersatu turun dan terjadilah hujan. Kata beliau, terkadang jika awan yang sudah bersatu itu terdorong angin, jatuhnya tidak sesuai dengan tempat yang diinginkan tetapi malah jatuh di tempat lain dan ini di luar kekuasaan manusia, dan menjadi berkah bagi tempat yang mendapat hujan buatan akibat dorongan angin tersebut. Bahan-bahan untuk mempercepat turun hujan yang ditaburkan itu tidak sedikit tetapi sebanyak 1 ton. Saya merasa terkesima mendengar cerita ayah saya tersebut. Begitulah dongeng orangtua, yang mengandung ilmu.

Posting Komentar

0 Komentar